BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikolinguistik
adalah sebuah bidang ilmu baru antara dua spesialis berbeda yang masing-masing
berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berbeda. Tetapi, pada kedua
bidang ini sama-sama menggunakan objek yang sama, yaitu bahasa. Ada perbedaan
yang mendasar dari dua bidang ini, yaitu objek materi yang berbeda, psikologi
membahas tentang perilaku bahasa atau proses berbahasa, sedangkan linguistik
membahas tentang stuktur bahasanya. Secara rinci, psikolinguistik mempelajari
empat topik utama, yakni komperehensi, produksi, landasan biologis serta
neurologis dan pemerolehan bahasa. Dari keempatnya, neorologi yang mempunyai
peran sangat erat dengan dengan bahasa dan penguasaan bahasa pada manusia.
Pembelajaran bahasa,
sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah
bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa
itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara
mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau
kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran
bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara
linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Manusia yang
normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik.
Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu
mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi,
kemampuan berbahasanya terganggu.
Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting.
Komunikasi ini tidak hanya dilakukan oleh manusia dewasa, namun juga oleh
anak-anak. Cara anak berkomunikasi ialah dengan mendengarkan lalu meniru
bunyi-bunyi yang didengarnya. Bahasa ibu sebagai bahasa yang dikuasai pertama
oleh anak dalam penggunaan sehari-hari di lingkungannya berpengaruh besar
terhadap pemerolehan bahasa sang anak. Tahapan-tahapan berbahasa tersebut
memberikan pengaruh yang besar dalam proses pemerolehan bahasa anak. Karena
anak mempunyai tahapan-tahapan tersendiri dalam berbahasa di waktu umurnya
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang pada ulasan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pemerolehan Bahasa anak ?
2. Bagaimana ciri-ciri anak yang mengalami gangguan dalam
berbahasa?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Mengetahui proses pemerolehan bahasa anak.
- Mengetahui ciri-ciri anak yang mengalami gangguan
dalam berbahasa diusia 5 tahun.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini ada dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis.
a. Manfaat Teoretis
Penelitian
mengenai gangguan
bahasa pada anak usia 5 tahun
(Rohman Soleh) ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikolinguistik.
b. Manfaat
Praktis
Penelitian
mengenai gangguan bahasa pada anak usia 5 tahun (Rohman Soleh)
dapat memberikan manfaat kepada para pembaca maupun pihak yang berkepentingan
dalam rangka mengubah wawasan tentang
bagaimana untuk pencegahan supaya gangguan berbahasa pada anak usia dini tidak
terjadi, serta sebagai bahan acuan maupun
referensi dalam penyusunan penelitian khususnya tentang gangguan berbahasa.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang
pemerolehan bahasa anak juga telah dilakukan sebelumnya oleh Soenjono
Dardjowidjojo yang telah meneliti cucunya yang bernama Echa dan sekaligus
dijadikan judul bukunya. Penelitian yang dilakukan Soenjono ini bersifat
longitudinal, yaitu penelitian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan anak
dari satu waktu ke waktu yang lain. Hasil dari penelitian tersebut menekankan
bahwa jadwal dalam pemunculan bunyi adalah jadwal biologis, dan bukan jadwal
kronologis masing-masing anak. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada anak
yang telah memperoleh bunyi getar [r] jauh lebih awal dari umur 49 bulan
seperti yang dinyatakan oleh Jakobson (1968), tiap anak memperoleh bunyi yang
berbeda-beda pula. Yang universal adalah urutannya. Tidak ada anak yang
memperoleh bunyi getar [r] sebelum bunyi hambat [p].
2.2
Kajian Teori
2.2.1. Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa adalah proses
penguaasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara alamiah, tidak sadar,
sehingga tidak ada kurikulum dan bantuan guru dalam proses pemerolehan bahasa
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Dardjowidjoyo (2003:225) menyatakan
bahwa pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah proses
penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia
belajar bahasa ibunya.
Penelitian mengenai bahasa manusia
telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh
bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1.
Anak tidak belajar
bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam sebuah kamus mental
raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus
yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
2.
Anak-anak dapat belajar
menyusun kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum pernah mereka hasilkan
sebelumnya.
3.
Anak-anak belajar
memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka
tidak dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar dengan
beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka. Anak-anak selanjutnya harus
menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif.
Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan
fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada anak-anak. Selain memperoleh aturan tata
bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu
penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan
kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, kata-kata
tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi
yang berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia
sosial sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya
manusia harus menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Sebagian dari noraia ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi
seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language
usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
2.2.2. Gangguan berbahasa
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat di bagi
dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan
sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan
fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud
dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah
manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat
manusia yang sewajarnya.
Menurut Sidharta (1984) Berbahasa berarti
berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan
kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke
harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan
sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
a.
Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang
menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan
daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di
daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
1) Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan
untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia
kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun,
ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih bisa
dilaukan.
2) Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik subkortikal adalah orang
yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan
tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu pengertian
bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun berjalan
normal.
3) Afasia Motorik Transkortikal
Para penderita afasia motorik transkortikal dapat
mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan
perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai jawaban
atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? ` dia tidak mampu
mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu,
tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga sering disebut dengan afasia
nominatif.
b.
Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya
kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan.
Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa yang
didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya pun ikut
terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dapat
dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu merupakan
bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu
terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu
bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada,
dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun
wajar-wajar saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti.
Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang
diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat
dipahami.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian
ini menggunakan pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Dengan
pendekatan teoretis, penelitian ini menggunakan teori analisis pemerolehan
bahasa dan pengaruh bahasa ibu. Pendekatan metodologis dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat kualitatif karena hasil
akhir pada penelitian ini berupa tulisan.
3.2
Objek Penelitian
Objek penelitian pada penelitian Pemerolehan Bahasa
Pada Anak Penderita Kelainan Saraf Otak, atau Epilepsi adalah:
Nama :
Rohman Soleh
Jenis kelamin :
Laki-laki
Umur :
5 tahun
Tempat/ tgl Lahir :
13 Maret 2008
Alamat :
-
Anak ini mengalami
gangguan dalam berbahasa, namun baru diketahui
saat menginjak umur 4
tahun, karena pada anak seumuran itu seharusnya
sudah bisa berbahasa dan tidak malu-malu untuk bertutur dengan lawan tuturnya,
walaupun masih belum sempurna
dan memerlukan bantuan orang tuanya. Selain itu, anak tersebut sering diam dan murung jika diajak bicara, bahkan cenderung
takut.
3.2 Data dan Sumber
Data diambil dari
tuturan Rohman Soleh, anak berumur 5 tahun yang masih banyak belajar bahasa
dari tuturan ibunya dan lingkungan keluarga.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang akurat. Data tersebut
adalah data yang sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan teknik pengamatan. Teknik wawancara
dilakukan untuk mengumpulkan data berdasarkan penjelasan dari orang tua dan
kakak dari anak tersebut. Teknik pengamatan yaitu dengan mengamati setiap
perilaku dan cara anak tersebut belajar bahasa yang diajarkan oleh keluarganya.
3.4 Instrumen Penelitian
Berikut daftar pertanyaan yang digunakan penulis:
........
3.5
Penyajian Data
Jadwal penelitian yang dilakukan oleh penulis:
|
Minggu 1
|
Minggu 2
|
Minggu 3
|
Penelitian
|
V
|
|
|
Tahap Penelitian
|
|
V
|
|
Penyusunan Penelitian
|
|
|
V
|
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Dardjowidjojo, Soenjono.
2000. Psikolinguistik. Jakarta: Grasindo.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://impiandalamhati.blogspot.com/2011/03/gangguan-berbahasa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar