Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Juli 2014

GANGGUAN BERBICARA PADA REZA MAHENDRA ANAK PENYANDANG GAGAP


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya. Karena itulah bahasa sering bahkan selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Kemudian muncullah berbagai pengertian tentang bahasa. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berinteraksi, bahasa adalah alat untuk mengekpresikan diri, dan bahasa adalah alat untuk menampung hasil kebudayaan, dan semua pengertian tersebut dapat diterima.
Bahasa dijadikan sebagai objek kajian linguistik yang pendekatannya dilakukan dengan cara bahasa dipandang sebagai bahasa saja bukan sebagai sesuatu yang lain. Sebagai objek kajian linguistik bahasa berbeda dengan berbahasa. Karena berbahasa merupakan kegiatan manusia dalam memproduksi dan meresepsi bahasa dimulai dari enkode semantik dalam otak pembicara dan berujung pada dekode semantik dalam otak pendengar.
Kalau bahasa adalah objek kajian linguistik, maka kegiatan berbahasa ini objek kajian psikolinguistik yakni bidang ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Hasil kajian psikolinguistik banyak dimanfaatkan dalam memahami pemerolehan bahasa pertama maupun dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing termasuk didalamnya permasalahan atau gangguan-gangguan yang terjadi pada hal-hal yang berkait dengan bahasa maupun berbahasa.
Gangguan berbahasa, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir.
Pada kesempatan kali ini, peneliti bermaksud untuk meneliti gangguan berbicara pada Reza Mahendra seorang anak laki-laki yang masih duduk di sekolah menengah pertama yang memiliki gangguan berbicara yakni gagap. Gagap termasuk dalam kategori gangguan berbicara yakni gangguan psikogenik. Gangguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin akan lebih tepatnya disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.

B.     Rumusan Masalah
Ø  Apakah yang dimaksud gagap itu?
Ø  Apa penyebab terjadinya gangguan berbicara yang disebut gagap?
Ø  Apakah gagap mengganggu proses komunikasi anak?
Ø  Apakah anak yang menyandang gagap dapat disembuhkan?

C.     Tujuan Penelitian
ü  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gagap
ü  Untuk mengetahui penyebab terjadinya gangguan berbicara yang disebut gagap
ü  Untuk mengetahui apakah gagap dapat mengganggu proses komunikasi anak
ü  Untuk mengetahui apakah anak yang menyandang gagap dapat disembuhkan




BAB II
KAJIAN TEORI

A.     Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa. Linguistik ialah ilmu tentang bahasa dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia, baik dalam berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun membaca. Berdasarkan pengertian psikologi dan linguistik pada uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak. Berikut ini beberapa definisi psikolinguistik menurut para ahli.
Harley (Dardjowidjojo, 2003: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Levelt (Marat, 1983:1) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia. Emmon Bach (Tarigan, 1985: 3) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa membentuk/membangun kalimatkalimat bahasa tersebut. Slobin (Chaer, 2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dari berbagai uraian di atas dapat disimbulkan bahwa Psikolinguistik yaitu gambaran mengenai studi ilmu interdisipliner dalam kajian linguistik yang mempelajari penggunaan dan proses terjadinya bahasa oleh manusia yang diperoleh dari proses memproduksi dan memahami ujaran antara pikiran dan tubuh manusia. Ciri-ciri psikolinguistik sebagai disiplin ilmu interdisipliner yaitu mempelajari psikologi dan linguistik. Sehingga tidak murni ilmu linguistik saja tetapi juga mengenai psikologi yang berhubungan dengan jiwa manusia.
Dari berbagai teori oleh para ahli dapat dipahami bahwa psikolinguistik membahas tentang bagaimana orang mempergunakan bahasa sebagai sebuah sistem dan bagaimana orang dapat memperoleh bahasa tersebut sehingga dapat digunakan untuk komunikasi. Psikolinguistik juga membahas bagaimana bahasa itu diterima dan diproduksi oleh pemakai bahasa, bagaimana kerja otak manusia yang berkaitan dengan bahasa, teori pemerolehan bahasa oleh anak, Perbedaan antara pemerolehan bahasa oleh anak dan pembelajaran bahasa, dan interferensi sistem bahasa ibu ke bahasa yang sedang dipelajari.
B.     Gangguan Berbicara Psikogenik
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Gusdi Sastra, dalam penelitiannya yang berjudul “Ekspresi Verbal Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik” ( 2007: 22 ), mengemukakan bahwa, ”manusia yang tidak bisa berbahasa secara normal disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf bahasa di otak karena suatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan mental.”
Secara garis besar, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
Gangguan berbicara psikogenik adalah variasi cara berbicara yang normal, yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.(Chaer, 2003: 152)
Selanjutnya, Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (2006 : 396) mengatakan, “penyakit psikogenik adalah satu penyakit fungsional yang tidak diketahui basis organiknya, karena itu, mungkin disebabkan oleh konflik atau tekanan atau stress emosional.”
Jadi, dari dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan bicara psikogenik itu merupakan gangguan bicara yang tidak berasal dari kesalahan sistem organ tubuh, melainkan merupakan suatu gangguan yang hanya dipicu oleh mental seperti stres, ingin lain daripada orang pada umumnya, kurang bisa mengendalikan emosi dan sebagainya.
C.     Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu.
1.      Faktor-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga.
2.      Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
3.      Adanya kerusakan pada belahan otak (hamisfer) yang dominan.
4.      Faktor neurotik famial.
Dulu ada anggapan bahwa gagap terjadi karena adanya pemaksaan unutk menggunakan tangan kanan pada anak-anak yang kidal. Namun, kini anggapan itu tidak dapat dipertahankan. Menurut Sidharta (1989) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, dan lebih banyak pada golongan remaja daripada golongan dewasa (Chauchard, 1983).





BAB III
METODE PENELITIAN

A.     Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Dengan pendekatan teoretis, penelitian ini menggunakan teori analisis pemerolehan bahasa dan pengaruh bahasa ibu. Pendekatan metodologis dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat kualitatif karena hasil akhir pada penelitian ini berupa tulisan.
B.     Objek Penelitian
Objek penelitian pada penelitian anak yang mengalami gangguan berbicara psikogenik yakni berbicara gagap adalah:
Nama                           : Reza Mahendra
Jenis kelamin                : Laki-laki
Umur                            : 18 tahun
Tempat/ tgl Lahir          : 29 Juni 1995
Alamat                         : -
Reza Mahendra adalah seorang anak yang tinggal dilingkungan perkampungan disebuah desa yang sejak kecil ditinggalkan oleh Bapak dan Ibunya bekerja diluar negeri menjadi seorang tenaga kerja disana. Ia mengalami ganggauan berbicara yakni pa yang disebut gagap. Karena itulah peneliti ingin menjadikan ia sebagai objek penelitian
C.     Sumber Data
Sumber data diambil dari tuturan langsung Reza Mahendra, anak laki-laki yang masih duduk disekolah menengah pertama.
D.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang akurat. Data tersebut adalah data yang sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan teknik pengamatan. Teknik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data berdasarkan penjelasan dari orang tua dan kakak dari anak tersebut. Teknik pengamatan yaitu dengan mengamati setiap perilaku dan cara anak tersebut belajar bahasa yang diajarkan oleh keluarganya.

E.     Penyajian Data
Jadwal penelitian yang dilakukan oleh penulis:

Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Penelitian
V


Tahap Penelitian

V

Penyusunan Penelitian


V


















DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Psikolinguistik. Jakarta: Grasindo.
Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

GANGGUAN BERBAHASA PADA ROHMAN SOLEH (ANAK USIA 5 TAHUN)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Psikolinguistik adalah sebuah bidang ilmu baru antara dua spesialis berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berbeda. Tetapi, pada kedua bidang ini sama-sama menggunakan objek yang sama, yaitu bahasa. Ada perbedaan yang mendasar dari dua bidang ini, yaitu objek materi yang berbeda, psikologi membahas tentang perilaku bahasa atau proses berbahasa, sedangkan linguistik membahas tentang stuktur bahasanya. Secara rinci, psikolinguistik mempelajari empat topik utama, yakni komperehensi, produksi, landasan biologis serta neurologis dan pemerolehan bahasa. Dari keempatnya, neorologi yang mempunyai peran sangat erat dengan dengan bahasa dan penguasaan bahasa pada manusia.
Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasanya terganggu.
Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Komunikasi ini tidak hanya dilakukan oleh manusia dewasa, namun juga oleh anak-anak. Cara anak berkomunikasi ialah dengan mendengarkan lalu meniru bunyi-bunyi yang didengarnya. Bahasa ibu sebagai bahasa yang dikuasai pertama oleh anak dalam penggunaan sehari-hari di lingkungannya berpengaruh besar terhadap pemerolehan bahasa sang anak. Tahapan-tahapan berbahasa tersebut memberikan pengaruh yang besar dalam proses pemerolehan bahasa anak. Karena anak mempunyai tahapan-tahapan tersendiri dalam berbahasa di waktu umurnya tersebut.



1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada ulasan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses pemerolehan Bahasa anak ?
2.      Bagaimana ciri-ciri anak yang mengalami gangguan dalam berbahasa?
1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui proses pemerolehan bahasa anak.
  2. Mengetahui ciri-ciri anak yang mengalami gangguan dalam berbahasa diusia 5 tahun.
1.4  Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ada dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
a.       Manfaat Teoretis
Penelitian mengenai gangguan bahasa pada anak usia 5 tahun (Rohman Soleh) ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikolinguistik.

b.    Manfaat Praktis
Penelitian mengenai gangguan bahasa pada anak usia 5 tahun (Rohman Soleh) dapat memberikan manfaat kepada para pembaca maupun pihak yang berkepentingan dalam rangka mengubah wawasan tentang bagaimana untuk pencegahan supaya gangguan berbahasa pada anak usia dini tidak terjadi, serta sebagai bahan acuan maupun referensi dalam penyusunan penelitian khususnya tentang gangguan berbahasa.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1    Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang pemerolehan bahasa anak juga telah dilakukan sebelumnya oleh Soenjono Dardjowidjojo yang telah meneliti cucunya yang bernama Echa dan sekaligus dijadikan judul bukunya. Penelitian yang dilakukan Soenjono ini bersifat longitudinal, yaitu penelitian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan anak dari satu waktu ke waktu yang lain. Hasil dari penelitian tersebut menekankan bahwa jadwal dalam pemunculan bunyi adalah jadwal biologis, dan bukan jadwal kronologis masing-masing anak. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada anak yang telah memperoleh bunyi getar [r] jauh lebih awal dari umur 49 bulan seperti yang dinyatakan oleh Jakobson (1968), tiap anak memperoleh bunyi yang berbeda-beda pula. Yang universal adalah urutannya. Tidak ada anak yang memperoleh bunyi getar [r] sebelum bunyi hambat [p].
2.2    Kajian Teori
2.2.1. Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa adalah proses penguaasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara alamiah, tidak sadar, sehingga tidak ada kurikulum dan bantuan guru dalam proses pemerolehan bahasa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Dardjowidjoyo (2003:225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya.
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1.    Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus
yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
2.    Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya.
3.    Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka. Anak-anak selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian dari noraia ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
2.2.2. Gangguan berbahasa
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Menurut Sidharta (1984) Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
a.      Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
1)      Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih bisa dilaukan.
2)      Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik subkortikal adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3)      Afasia Motorik Transkortikal
Para penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? ` dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga sering disebut dengan afasia nominatif.
b.      Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat dipahami.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Dengan pendekatan teoretis, penelitian ini menggunakan teori analisis pemerolehan bahasa dan pengaruh bahasa ibu. Pendekatan metodologis dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat kualitatif karena hasil akhir pada penelitian ini berupa tulisan.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian pada penelitian Pemerolehan Bahasa Pada Anak Penderita Kelainan Saraf Otak, atau Epilepsi adalah:
Nama                           : Rohman Soleh
Jenis kelamin               : Laki-laki       
Umur                           : 5 tahun
Tempat/ tgl Lahir        : 13 Maret 2008
Alamat                        : -
Anak ini mengalami gangguan dalam berbahasa, namun baru diketahui saat menginjak umur 4 tahun, karena pada anak seumuran itu seharusnya sudah bisa berbahasa dan tidak malu-malu untuk bertutur dengan lawan tuturnya, walaupun masih belum sempurna dan memerlukan bantuan orang tuanya. Selain itu, anak tersebut sering diam dan murung jika diajak bicara, bahkan cenderung takut.
3.2 Data dan Sumber
Data diambil dari tuturan Rohman Soleh, anak berumur 5 tahun yang masih banyak belajar bahasa dari tuturan ibunya dan lingkungan keluarga.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang akurat. Data tersebut adalah data yang sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan teknik pengamatan. Teknik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data berdasarkan penjelasan dari orang tua dan kakak dari anak tersebut. Teknik pengamatan yaitu dengan mengamati setiap perilaku dan cara anak tersebut belajar bahasa yang diajarkan oleh keluarganya.
3.4 Instrumen Penelitian
Berikut daftar pertanyaan yang digunakan penulis:
........
3.5 Penyajian Data
Jadwal penelitian yang dilakukan oleh penulis:

Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Penelitian
V


Tahap Penelitian

V

Penyusunan Penelitian


V










DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Psikolinguistik. Jakarta: Grasindo.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

http://impiandalamhati.blogspot.com/2011/03/gangguan-berbahasa.html